Beginilah kondisi empat murid SDN 04 Sungkung, Siding, Bengkayang yang minta tas kepada Presiden Jokowi. (Anggit Purwoto) |
Hari Pendidikan Nasional - Pembangunan di perbatasan terus digalakkan oleh Pemerintah Indonesia. Pos Lintas Batas Negara (PLBN) pun telah dibangun megah dan mewah.
Di Kalimantan Barat contohnya, tiga PLBN disana tak lagi seperti dapur, melainkan layaknya ruang tamu yang megah. Sayangnya hal serupa belum menyentuh dunia pendidikan. Salah satunya fasilitas pendidikan di Kabupaten Bengkayang yang berbatasan langsung dengan Serikin, Sarawak, Malaysia yang masih perlu banyak pembenahan.
Pelajar-pelajar di tapal batas tersebut belum menikmati kelayakan dalam mengenyam bangku pendidikan. Bisa dibilang, syukur-syukur masih ada yang mau sekolah dan tidak tergiur ingin hijrah ke negara tetangga.
Siswa-siswi SMA 1 Siding mengikuti upacara bendera di sekolahnya - Anggit Purwoto |
Selain infrastuktur sekolah yang tak memadai, fasilitas penunjang pun tak bisa diandalkan. Misalnya, Sekolah Dasar Negeri (SDN) 04 Sungkung, Kecamatan Siding, Bengkayang.
Kebanyakan pelajar di sekolah ini harus menempuh jalan berbatuan, berlumpur, tanjakan, dan berdebu sekitar 2 hingga 3 jam dari rumah mereka untuk menuju sekolahnya. Tanpa alas kaki alias nyeker. Tanpa tas, hanya menggunakan kantong plastik. Dan mengenakan seragam yang lusuh, tidak seperti pelajar selayaknya.
Setibanya di sekolah, mereka harus menghadapi bangunan sekolah yang sudah tak layak. Penuh dengan lubang dan rapuh pula.
Mirisnya dunia pendidikan ini membuat seorang guru dari Sarjana Mendidik di Daerah Terdepan Terluar dan Tertinggal (SM-3T) Kemendikbud, Anggit Purwoto yang ditugaskan di tapal batas, mencoba memberikan informasi tentang kondisi sebenarnya pendidikan di perbatasan, melalui video singkat yang dibuatnya.
Video yang diunggah di akun facebook dan instagram miliknya, terlihat empat murid SDN 04 Sungkung menyerukan mohon bantuan kepada pemerintah. Dengan suara lirihnya, Revan, Hery Aprianto, Jhembo dan Eligen Tomas bergantian bilang 'Pak Jokowi Minta Tas'.
“Apa yang dilakukan ini sebenarnya adalah keinginan hati kecil mereka untuk memiliki tas, sepatu dan juga bantuan pendidikan lainnya. Sama seperti pelajar-pelajar di tempat lain,” kata Anggit kepada Rakyat Kalbar (Jawa Pos Group), Selasa (4/4/2017).
Video yang diunggahnya lantas menjadi viral. Ini sesuai harapan Anggit, supaya masyarakat yang mampu, terutama pemerintah, mengetahui kondisi pendidikan di tapal batas. Sehingga bisa mengulurkan bantuan.
Dalam video tersebut juga dilengkapi kalimat, "Tidakkah kalian merasa kasihan. Masih adakah hati nurani kalian. Mereka hanya minta tas, untuk membawa buku-buku yang mungkin bertuliskan mimpi-mimpi kecil mereka, agar mimpi yang mereka tuliskan tidak hancur terkena lumpur atau koyak kena hujan.
Tidakkah kalian iba, melihat baju kotor mereka. Berjam-jam jalan melewati jalan lumpur. Tidakkah kalian iba ketika perjuangan mereka, mimpi mereka terhapus sia-sia oleh kejamnya negeri perbatasan. Dengarlah suara lirih mereka Pak,” tulisnya dalam video tersebut.
“Dengan video itu, saya berharap Presiden Joko Widodo (Jokowi) tahu kondisi anak-anak pelajar di perbatasan. Setidaknya bisa lebih memperhatikan pendidikan di pelosok Indonesia, seperti yang saya hadapi saat ini,” sambung Anggit saat berbincang dengan Rakyat Kalbar.
Anggit ditugaskan mengabdi selama setahun disana. Ada 135 murid SDN 04 Sungkung yang menjadi anak didiknya. Ditambah lagi mengajar di SMAN 1 Siding, yang juga masih ada pelajar yang tanpa tas dan hanya mengenakan alas kaki sendal. Dia dan empat guru SM-3T lainnya sudah melewati masa tujuh bulan mengajar, tersebar di setiap sekolah di Sungkung.
Pria asal Purbalingga, Jawa Tengah ini mengaku sedih melihat kondisi anak Indonesia seperti itu. Pertama kali menginjakkan kakinya di ujung Bumi Sebalo ini, ia heran di era modern seperti ini masih saja ada pelajar SD dan SMA yang ke sekolah hanya pakai sendal, bahkan ada yang bertelanjang kaki.
“Apa yang bisa kami perbuat, kami katakan kepada meraka, kami bukan pejabat yang bisa menyampaikan keadaan ini kepada Presiden. Makanya kami mulai mencari bantuan untuk adik-adik, dimulai dengan video itu. Dan saat ini mulai ada yang memberikan bantuan,” ujarnya.
Menurut pria kelahiran 30 Agustus 1994 ini, wajar saja kondisi tersebut terjadi. Karena Sungkung dinilainya sebuah desa yang sangat terisolir, jauh dari kata kemajuan. Butuh waktu tempuh hingga dua hari dari pusat Kabupaten Bengkayang. Dan akses jalan aspal terdekat berada di Kecamatan Entikong, Kabupaten Sanggau.
Untuk menuju jalan aspal terdekat, membutuhkan waktu delapan jam dengan menggunakan sampan menyusuri sungai Sekayam, empat jam melalui jalan darat jika kondisinya kering. Namun, jika basah atau becek, sulit diprediksi. Minimal butuh biaya Rp 600 ribu dari pusat Bengkayang untuk sampai di Sungkung.
“Di Sungkung tidak ada listrik. Untuk mendapatkan sinyal saja, harus naik bukit dengan jarak tempuh 45 menit jalan kaki dari Asrama kami,” kata Anggit.
Belum lagi ditambah dengan mahalsnya harga berbagai produk lokal disana. Sementara produk-produk buatan Malaysia yang jauh lebih murah sangat mendominasi wilayah ini. Disana juga berlaku dua mata uang, yakni rupiah dan ringgit.
“Saya bangga dan salut dengan perjuangan anak-anak tapal batas ini. Untuk menyambung sebuah coretan tinta di bukunya, mereka ada yang sekolah sambil jualan kue. Mereka tidak menyerah dengan keadaan yang ada,” ujarnya.
Tak sedikit juga, lanjut Anggit, anak didiknya baik SD maupun SMA yang bekerja di Malaysia saat liburan. Itu semua demi membayar uang bulanan sekolah. Mereka begitu tahu, bahwa hidup di negara tetangga jauh lebih sejahtera. “Tetapi mereka masih memiliki rasa kebangsaan yang sangat tinggi, sehingga berpikir dua kali untuk menjadi warga negara di negara tetangga,” ungkapnya.
Bagaimanapun juga, kata Anggit, mereka lebih memilih 'hujan batu' di negeri sendiri daripada 'hujan emas' di negeri orang.
Lantas bagaimana peran orang tua atau keluarga dalam pendidikan anak disana? Baca selengkapnya disini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar